RAHASIA SURGA
(Sebuah Cerpen)
* Part 1 – Jalan Ke Surga *
“Sudah Kakashi, kasih saja.”, batinku. Tanpa berpikir dua kali tanganku segera membuka caping yang kukenakan. Kukeluarkan uang seratus ribu terakhir yang kumiliki dari lipatan kecil yang ada di dalam caping ini. Lalu kuletakkan ke dalam telapak tangan seorang tua yang sedang menengadahkan tangannya. “Ini kek, ambillah. Hanya ini yang aku punya.”, kataku sambil tersenyum. Kakek tua itu juga tersenyum senang. Sambil membungkukkan punggungnya beberapa kali, ia mengucapkan terima kasih berulang kali sebelum akhirnya berlalu. Aku hanya menghela nafas syukur, sebab masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menolong orang yang membutuhkan. Bukankah Tuhan selalu mengajarkan agar kita selalu membantu orang yang sedang kesusahan semampu kita?
Akupun segera mengayunkan kaki untuk pulang ke rumah. Rumahku sebuah gubuk kecil di tepi hutan. Bungkusan yang kubawa kuletakkan hati-hati ke atas meja dapur. Yah, meja kayu sederhana ini berfungsi sebagai meja dapur, dan meja tamu, atau apa saja yang diperlukan untuk meletakkan barang. Kukeluarkan hati-hati isi di dalam bungkusan plastik. Garam, minyak goreng, minyak tanah, korek api, kopi dan gula. Lima puluh ribu harganya semua.
Jarak dari rumah ke warung terdekat lumayan jauh. Sekitar tiga kilometer jaraknya.
Tak terasa hari sudah mulai gelap. Segera kunyalakan obor bambu berisi minyak tanah yang terletak di tengah ruangan. Tak lupa aku memeriksa apakah minyak tanahnya masih banyak atau tinggal sedikit. Sambil memandang ke langit penuh bintang, aku bernyanyi perlahan. Sebuah nyanyian syukur kepada Tuhan karena telah memberikan kehidupan dan kenikmatan yang tiada taranya. Sungguh, hidup di tepi hutan yang asri, sejuk, hening, hanya berteman suara jangkrik dan burung malam, bagiku sudah merupakan sebuah surga kecil di dalam dunia.
** Part 2 - Keindahan Fajar **
Fajar masih menguap di atas daun-daun dan pepohonan ketika sang Mentari masih menggeliat malas untuk membuka matanya. Dalam suasana pagi yang remang-remang itu, aku terbangun setelah kokok ayam menitipkan suaranya ke telingaku. “Aduh, keras sekali suaramu.”, teriakku kepada si Jago, ayam jantan kesayanganku. Si Jago tambah senang mendengar pujianku. Suaranya semakin keras membangunkan hewan-hewan lain di sekitar gubuk.
Setelah memasak air dan membuat kopi, aku segera pergi ke halaman belakang untuk mandi. Aku masuk ke dalam sebuah bilik yang terbuat dari kayu dan daun-daun, di dalamnya ada sebuah sumur kecil yang airnya tak pernah kering meski di musim kemarau. Sumur kecil itu tidak terlalu lebar juga tidak dalam. Lebarnya hanya sekira satu dua ember saja. Cukuplah untuk memasukkan timba ke dalamnya untuk mengambil air secara leluasa. Guyuran air yang dingin hampir sedingin es membuat tulang-tulangku bergetar seakan ingin meloncat keluar dari tubuhku. “Sabar-sabar, jangan loncat dulu.”, kataku kepada tulang-tulangku. “Aku belum mati nih, nanti kalau aku sudah mati, kalian boleh pergi kemana kalian suka.”, bujukku kepada tulang-tulangku yang masih bergetaran.
Setelah berpakaian dan menyeruput kopi hitam yang sekarang sudah sedikit dingin, aku melangkahkan kaki menuju persawahan. Persawahan penduduk desa adalah kumpulan sawah-sawah yang letaknya berdekatan, sengaja dipilih warga desa karena tempatnya yang subur. Sedangkan rumah-rumah penduduk biasanya agak jauh dari persawahan, berada di daerah yang kurang subur, dan biasanya dikelilingi kebun dan pekarangan. Konon katanya, orangtuaku mewariskan sebidang sawah dan sebidang kebun beserta gubuk kecil yang letaknya agak jauh dari sawah.
*** Part 3 - Sebuah Keajaiban ***
Aku melangkahkan kaki menuju persawahan sambil bersiul-siul, mencoba mengalahkan kicauan burung-burung kecil di atas pohon. Melewati beberapa kebun dan rumah milik warga, memutari sekumpulan pohon bambu dan melewati beberapa parit kecil, sampailah aku ke pinggir persawahan. Siulanku terhenti. Mataku tertarik pada kumpulan warga yang sedang berkerumun.
“Eh, sedang apa mereka itu? Sepertinya ada kejadian.”, batinku. Tak lama aku telah sampai ke kerumunan warga. “Ada apa pak Har?”, tanyaku. Pak Hary adalah lurah desa kami. Orangnya sudah separuh baya. Wajahnya tampak berkerut seperti sedang memikirkan hal yang berat. “Oh, dek Kaka, kamu baru datang ya? Pasti kamu akan terkejut seperti kami.”, jawabnya. “Lihat, seluruh tanaman padi kita dirusak hama. Padahal tinggal sehari lagi kita panen. Gagal dah panen kita tahun ini.”, lanjutnya.
“Astaga!”, jawabku. Mataku memandang sekeliling dan mendapati bahwa seluruh padi dipenuhi oleh belalang. Entah berapa juta belalang yang menyerbu persawahan kami. Hampir seluruh daun, biji, dan batang padi dihinggapi oleh hama belalang. Kuayunkan kakiku melangkah menuju sawah milikku. Sawahku berada di bagian ujung persawahan ini. “Ah.. pasti padiku sudah habis dimakan hama.”, gumamku pada diriku sendiri.
Kakiku melangkah perlahan di atas pematang. Melewati sawah pak Tarjo, hancur sudah sawah bapak itu. Penuh dengan belalang. Kulewati lagi sawah Bu Niar, sama juga. Penuh dengan belalang. Melewati sekitar sepuluh sawah di depan, akhirnya sampailah aku ke sawahku tercinta. Seketika aku tersungkur. Seluruh tulang-tulang di tubuhku serasa copot lunglai tanpa tenaga.
Dengan lutut mencium tanah pematang, aku memandang berkali-kali seakan-akan tak percaya. Seluruh padi di sawahku tidak dihinggapi oleh belalang satupun. Kupandang sekeliling, sekira empat petak sawah milik penduduk di samping sawahku juga belum dihinggapi belalang. Sembari menengadahkan wajah ke langit, aku mengucap syukur tak henti-hentinya kepada Tuhan. Dan batinku mengingatkan kembali ke kilas peristiwa semalam, saat aku memberikan uang terakhirku kepada seorang tua yang kelaparan. “Ah… Tuhan.. Engkau sungguh tak terkira. KekuasaanMu tak tertandingi.”, gumamku. “Aku hanya memberikanMu uang seratus ribu, Engkau malah melindungi sawahku yang harganya melebihi seratus ribu.”, kataku sambil bersembah syukur ke langit.
Hari itu hanya aku dan empat penduduk desa yang berhasil panen. Semua penduduk yang gagal panen karena hama mengucapkan selamat kepada kami. Mereka juga membantu kami memanen padi yang tersisa. Tak lupa kami membagikan sebagian hasil panen kami untuk mereka, dan sebagian lagi kami bawa pulang.
**** TAMAT ****
Karya: #Panda Po Tan
#Batam, Kepulauan Riau
#061619